2.3.2 Cerpen Kontemporer
Cerpen Korrie Layun Rampan
Danau Liaq
Rumpun
bemban masih saja seperti dahulu, saat mula aku mengenal danau itu.
Rumpun-rumpun itu kembali mengingatkan kau akan masa kanakku yang hilang di
situ. Dahulu, kata ibu, menurut kisah yang didapatnya dari nenek, Danau Liaq
berasal dari pusaran seekor bulus yang harus bertelur sejuta. Ia dikutuk karena
memakan durian kesayangan raja. Karena ditanam arah ke tepi sungai, buah-buah
durian itu banyak yang jatuh dari pasir pantai, dan buah-buah berduri itu
menjadi mangsa bulus. Entah bagaimana caranya, bulus itu bisa membuka
durian-durian jenis durian buaya atau duarian monthong itu, dan memakannya
dengan lahap. Apakah ia menunggu sampai durian itu mereka, atau ia mengigit
bagian bawah durian, sehingga juring durian terbuka. Tak ada yang tahu secara
jelas, bagaimana sebenarnya bulus itu mampu mendapatkannya dan memakan daging
durian yang manis beralkohol itu.
Oleh
karena kutukan itu, bulus itu membuat pusaran yang luas di pasir untuk
tempatnya bertelur. Pusaran itu menjadi lebar dan dalam dan bekas pusaran bulus
itu berubah menjadi danau. Orang kampong di zaman itu menyebutkan Danau Liaq
yang bermakna danau ciptaan bulus karena kutukan dewa pemarah!
Aku
tak terlalu percaya dengan kisah itu. Namun aku suka memancing didanau itu,
terutama karena aku tertarik dengan bentuk danau yang bundar seperti nyiru.
Sekeliling danau merimbun rumpun bemban, dan disela-sela bemban itu berkeliaran
ikan gabus dan ikan lele yang besar lagi gemuk. Jika memancing dengan umpan
cacing atau belalang, sering aku mendapat ikan boyon, ikan lais dan baung yang
enak sekali rasanya. Jika ikan itu dipepes atau dibakar, rasa dagingnya gurih
manis. Sebelum aku pindah ke kota karena harus melanjutkan sekolah di sebuah
SMP di ibukota kecamatan, aku selalu datang ke danau itu pada waktu-waktu
tertentu dengan tujuan mancing atau mengangkat bubu dan pengirei yang diberi
umpan untuk jenis ikan pepuyuh dan kelabeuw. Terakhir aku jera karena tiba-tiba
saja di dalam bubu melingkar ular bentung yang berbisa, dan aku berteriak
memanggil ibu. Kalau aku sempat dipatuknya, entahlah nasibku, mungkin sudah
menjadi tanah seperti nenek moyang yang dikubur di dalam tempelaq yang berupa
kuburan gantung.
Danau
itu hampir saja terlupa dari ingatku jika aku tidak kembali setelah lulus dari
sebuah perguruan tinggi di Jakarta.
Peristiwa ular bentung seperti terpeta di depan mata membuat aku bertanya
kepada ibu, apakah masih ada orang yang mancing, memasang pukat atau bubu dan
menarik pancing bentang di danau itu. Dimasa kanakku, aku bersama kakakku
Tingang suka memasang jaring untuk menangkap ikan biawan dan ikan kapar yang
enak rasanya. Telur biawan jika dikonsumsi terlaku banyak, akan membuat anus
menjadi licin berminyak. Telur ikan itu akan menjadi musuh beteleq, karena
buahan itu akan bisa membuat anak-anak tidak bisa buang air besar. Jika makan
telur biawan, urusan WC menjadi lancar, meskipun makan beteleq seberangka
banyaknya.
Danau
Liaq adalah danau masa kanak. Belasan tahun aku tak pernah mernjenguknya karena
aku kuliah di Jakarta. Namun kini saat aku melihatnya kembali, hatiku jadi
terbuka untuk sebuah ide ikan keramba. Bukankah danau itu sangat bagus untuk
dijadikan lahan menanam berbagai jenis ikan yang nantinya akan dipanen untuk
dijual dipasar-pasar Damai, Berong Tongkok, Melat, Linggang Bigung, Lambing,
Jengan Danum,dan Samarinda.
“Tapi
di kiri kanan danau itu memiliki rahasia yang seram,” kawanku Tuwala berkata
dengan nada khawatir. ”harus berhati-hati menghindari murkah.”
“Rahasia
apa? Murka siapa?” aku merasa penasaran.
“Rahasia
liaq itulah, itulah,” Tuwala berkata. “Dulu, bahkan orang harus mengorbankan
ayam putih dan anjing hitam kalau liaq itu murka.”
“Mengapa
murka?” aku bertanya seperti orang tolol.
“Karena
orang-orang mengambil ikan di danau itu tanpa adat aturan,” Tuwala makin
menjelaskan. “Mereka tak menggunakan peralatan nelayan yang lumrah. Mereka
gunakan potas dan setrum!”
“Potas
dan setrum? Bukankah sampai anak-anak ikan ikut mati?”
“Bukan
itu saja. Bahkan tukan putas dan tukang setrumnya ikut mati!”
“Itu
namanya kuwalat!” aku seperti menyumpahi.
“Tapi
sebenarnya tukang potas dan tukang setrum kuwalat pada liaq yang menghuni danau
itu. Karena mereka tidak memberi sesaji, liaqnya marah. Akibatnya sangat fatal,
tukang potas dan tukang setrum itu benar-benar mampus!”
Kalau
saja aku masih usia masa kanakku, bulu kudukku akan segera berdiri. Tentu aku
akan bayangkan bagaimana liaq mengambil nyawa seorang nelayan karena nelayan
itu tak bersopan santun menangkap ikan dari danau. Mungkin liaq adalah makhluk
aneh yang menyeramkan, berkepala sebelas dengan gigi yang runcing tajam
memanjang serta rambut terurai awut-awutan. Kuku-kukunya begitu panjang dan
badannyanyang kotor tasmpak mengkilat di bawah cahaya matahari. Bau busuknya
akan menyebar keseluruh permukaan danau, sehingga menimbulkan rasa mual dan
geronjangan akan muntah. Tapi saat Tuwala berbicara aqku sudah sarjana dan aku
justru akan membuka usaha di bidang keramba di danau itu.
“Dulu
ada warga dari kampong lain suka meracuni ikan di malam hari setelah ruba
dianggap kurang mampan, “Tuwala masih melaporkan pengetahuannya mengenai aksi
masyarakat penangkap ikan.
“Makin
hari pendapatan mereka berkurang, sehingga mereka gunakan setrum!”
“Tapi
jika aku sudah peliharakan ikan, aku minta petinggi umumkan kepada warga agar
janagan lagi menuba, meracun, menyetrum,” aku memandang wajah Tuwala. “Biar
ikan sungai dan danau dapat berkembang menjadib besar, dan ikan keramba aman
juga, tak beracun oleh tuba dan obat mematikan.”
“Tapi
kalu menanam kerambah di Danau Liaq, kau tak merasa khawatir akan gangguan
makhluk halus liaq yang bisa saja nanti minta sesaji,” Tuawala masih dengan
argumentasinya. “Kuingat Dakouwe yang hanya mau mengambil ikan dari danau itu
tapi tidak mau memberi sesaji, akhirnya kejeblos ke dalam lumpur muara danau
dan tenggelam di arus Sungai Nyuwatan. Hingga kini mayatnya tak diketemukan!”
“Kudengar
Dakouwe suka mengganggu istri Sengkereaqduaq. Apa tak mungkin lelaki itu
dibencana karena perselingkuhannya?”
“Tapi
mayatnya tak diketemukan orang. Kata orang mayat itu disembunyikan oleh liaq di
dasar danau.”
“Disembunyikan
di dasar danau? Dasar yang mana? Bukankah danau tak terlalu dalam, hanya dua
tiga meter saja dalamnya? Kalau diletakkan di dasar danau, tentu mayatnya akan
mengapung kalau sudah membusuk. Lagi pula, untuk apa liaq sembunyikan mayat
orang mati?”
“Tapi
itu perbuatan liaq bukan model tata cara manusia,”Tuwala masih dengan
argumentasinya. Kalau mayat tak dibiarkan mengapung, ya tak kan mengapung.
Bukankah liaq adalah makhluk halus yang dapat membutuhkan kematian sebagai
tumbal bagi kedegilan manusia dalam mengelola lingkungan hidup!”
Tuwala
memang teman akrabku semasa di SD. Oleh karena ayahnya meninggal dunia, ia
tidak bisa melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi karena tak ada
yang menyandang dana. Ia akhirnya menikah dan membuka lading secara tradisi.
Bersama kelinceking, Sepotn dan Lelutukng, ia kuajak bersama membangun keramba
di danau liaq. Dengan berbagai informasi danargumennya yang menyangkut
kehidupan tradisional kampong, aku merasa aku mendapat bahan-bahan berguna
untuki menata lingkungan di masa depan. Tanpa ilmu pengetahuan masyarakat akan
tetap dibutakan oleh mitos-mitos kuno yang menghambat.
Namun
di pihak lain, aku juga suka dengan isyarat-isyarat dan batasan-batasan yang
dipegang adat dan tradisi. Bahkan mitos Danau Liaq yang dikatakan bermula dari
pusaran bulus membuat aku makin berusaha menyelami dan memahami makna apa yang
terkandung dibalik dongeng-dongeng kuno itu. Bukankah cerita-cerita lama lebih
banyak berupa tamsil dengan maksud-maksud tertentu di baliknya?
Tak
terasa jika keramba kami telah dihuni ikan-ikan jelawat, baung, betutu yang
hamper siap panen. Tiga jenis ikan itu sengaja aku pilih karena memiliki
ekonomi yang tinggi, sebab ikan-ikan itu digemari masyarakat lokal. Dalam
jangka panjang aku berencana akan menjual ikan-ikan itu ke Jawa, bahkan ikan
betutu disebut juga ikan bakut, sangat digemari orang Cina, Korea dan Jepang.
Kuharap suatu ketika aku akan bangga mengangkut ikan-ikan itu dari Bandara
Sepinggan di Balikpapan dalam dus-dus ukuran internasional untuk aku ekspor ke
mancanegara.
Bibit-bibit
unggul itu ketiga jenis ikan itu aku beli di Banjarmasin, dan dengan penyuluh
yang kudatangkan dari Dinas Pertanian Kabupaten, pemeliharaan ikan-ikan itu
benar-benar sesuai dengan tata cara yang seharusnya ikan-ikan itu cepat sekali
menjadi besar dan gemuk. Kerja keras selama beberapa bulan terakhir ini kurasa
akan segera akan menghasilkan buah. Bahkan kuduga, kredit bank akan mengucur
lebih besar, jika panen perdana yang dilakukan oleh bupati, telah dilangsungkan.
Pihak bank akan melihat sendiri bahwa uang yang mereka pinjamkan tidak terbuang
di lapak judi tongkok dan tak juga dihabiskan dengan wanita ayu di kafe-kafe
hiburan, tetapi benar-benar ditanam di
dalam usaha produktif berupa ikan dalam keramba.
Acara
persiapan penyambutan bupati untuk panen perdana telah rampung. Petinggi dan
kepala adat ikut ambil bagian dalam acara tersebut, karena baru kali inilah
kampong kami akan dikunjungi bupati. Selama puluhan tahun dan berapa bupati dan
gubernur telah ganti-berganti, baru kali inilah masyarakat kampung merasa
mendapat kehormatan karena kampong akan dikunjungi pejabat tinggi Negara.
Selama ini camat-camat pun jarang datang, bahakan ada camat sampai tugasnya
berakhir di kecamatan, tidak sempat mengunjungi kampong kami. Sehinggga ada
orang yang menggerutu dengan pahit, bahkan kampong kami selalu dianaktirikan
dan menjadi kampung sial, karena kutukan liaq, membuat kampung tak pernah maju.
“Tapi mengapa harus menggunkana lokasi di situ,” Tuwala seperti ternganga melihat
kawasan nantinya akan digunakan untuk tempat upacara.
“Tempat
itu tidak baik digunakan untuk umum karena ada penunggunya.”
Tuwala
yang sedang bertugas menyiapkan pemasaran di Banjarmasin tak ikut serta dalam
pembuatan tanggung dan teratak upacara. Ia baru saja tiba, setelah semuanya
selesai.
“Biar
penunggu itu menjaga kita,” Pererawen seperti berlelucon.” Biar ucapara
berjalan lancar.”
“Tapi
di situ ada lubang misterius, Wen,”
Tuwala menguatkan argumentasinya.
“Nenekku
pernah kidasih mimpi delapan kali di siang hari oleh lelaki tua berambut putih
yang mengatakan bahwa di tempat itu ada gua harta.”
“Itu
lebih baik,” Pererawen tak mau kalah. “mudah-mudahan kita semua ini diberi tua
akan harta karun yang berlimpah ruah. Sebagai penggagas pembangunan keramba dan
yang bertanggungjawab akan usaha yang aku jalankan, aku merasa semuanya sudah
siap. Jika terjadi penggunaan kawasan berpenunggu, kuharap itu hanya dongeng
kuno yang tak ada buktinya. Oleh karena itu, aku minta kepada Tuwala dan
Parerawan agar persoalan lokasi jangan diperumit. Lebih baik bersiap-siap
menunggu kedatangan rombongan bupati esok hari.”
Setelah
memeriksa keramba dan segala persiapan penyambutan, aku berusaha memejamkan
mata. Panen perdana kuharapkan akan dilanjutkan dengan panen kedua dan
seterusnya, dan masyarakat kampong akan menjadi sejahtera karena usaha keramba.
Ekonomi rakyat meningkat, tak lagi terlilit hutang ijonan disebabkan harga
karet dan rotan selalu tak menentu karena diakali dan dikadali para tengkulak!
Saat
aku bangun udara pagi terasa sangat dingin karena gerimis masih merintis. Aku
menjadi jengah, karena di ruang tengah telah duduk sejumlah warga dan mereka
berbicara dengan nada yang tinggi.
“Panggung
dan teratak terjeblos ke dalam tanah,” suara Tuwala melapor padaku. “ikan-ikan
dalam keramba pada mati. Menurut Petinggi rombongan bupati sebentar lagi akan
tiba di sini!”
Kukucek
mataku di depan panggung upacara dan teratak yang tenggelam ke dalam lubang
tanah yang menggeronggang ke dalam karena guyuran hujan membuat tanah menjadi
lembek dan seluruh lapisan atas tanah terkikis lalu membentuk lubang yang
dalam. Sementara hampir-hampir aku tak percaya, saat kukucek mataku di depan
keramba. Seluruh ikan mengapung mati!
Saat
rombongan bupati tiba, kutunjuk bangkai-bangkai ikal jelawat, ikan baung dan
ikan betutu yang mengapung mati. Air danau yang tadinya bening bersih telah
berubah menjadi iar susu. Beberapa anak sungai yang mengalir ke danau itu telah
membawa limba merkuri dan limbah tanah yang lingkungannya hancur karena
penebangan hutan yang dilakukan secara merajalela oleh pengusaha HPH. Perubahan
air secara mendadak dan racun-racun tanah dari bekas tebangan HPH telah
menciptakan neraka bagi ikan-ikan keramba.
Danau
Liaq, bulus terkutuk, keramba, limbah HPH, dan di sebelahku bupati yang kulihat
masih melongo di depan keramba danau dengan jutaan ikan mati.
Gerimis
seperti melilitkan kemurungan di awan yang menggantung hitam.
Matahari
mungkin masih lama tak tampak!
Analisis :
Dalam
kutipan cerpen di atas menceritakan
tentang Danau Liaq, yang bermakna danau ciptaan bulus karena kutukan dewa
pemarah. Danau liaq yang berasal dari pusaran seekor bulus yang harus bertelur
sejuta. Ia dikutuk karena memakan durian
kesayangan raja. Oleh karena kutukan itu, bulus itu membuat pusaran yang luas
di pasir untuk tempatnya bertelur. Pusaran itu menjadi lebar dan dalam dan
bekas pusaran itu berubah menjadi danau. Seorang anak di kampng itu sangat suka
memancing di danau liaq tersebut. Terakhir dia jera karena tiba-tiba saja di
dalam bubu melingkar ular bentung yang berbisa. Danau liaq tersebut rupanya
memiliki rahasia yang seram. Dapat kita lihat dari kutipan-kutipan di dalam
novel tersebut :
“Tapi di kiri kanan danau itu memiliki rahasia yang
seram,” kawanku Tuwala berkata dengan nada khawatir. ”harus berhati-hati
menghindari murkah.”
“Rahasia
apa? Murka siapa?” aku merasa penasaran.
“Rahasia
liaq itulah, itulah,” Tuwala berkata. “Dulu, bahkan orang harus mengorbankan
ayam putih dan anjing hitam kalau liaq itu murka.”
“Mengapa
murka?” aku bertanya seperti orang tolol.
“Karena
orang-orang mengambil ikan di danau itu tanpa adat aturan,” Tuwala makin
menjelaskan. “Mereka tak menggunakan peralatan nelayan yang lumrah. Mereka
gunakan potas dan setrum!”
“Potas
dan setrum? Bukankah sampai anak-anak ikan ikut mati?”
“Bukan
itu saja. Bahkan tukang putas dan tukang setrumnya ikut mati!”
“Itu
namanya kuwalat!” aku seperti menyumpahi.
“Tapi
sebenarnya tukang potas dan tukang setrum kuwalat pada liaq yang menghuni danau
itu. Karena mereka tidak memberi sesaji, liaqnya marah. Akibatnya sangat fatal,
tukang potas dan tukang setrum itu benar-benar mampus!”
2.3.3 Novel Kontemporer
MERAHNYA MERAH
Oleh: Iwan Simatupang
Satu
SEBELUM REVOLUSI.dia calon rahib. Selama revolusi, dia
komandan kompi. Di akhir revolusi, dia algojo pemancung kepada
pengkhianat-pengkhianat tertangkap. Sesudah revolusi, dia masuk rumah sakit
jiwa.
Kini,
revolusi telah selesai. Telah lama, kata sebagian orang. Ah! Barangkali juga
selesai-selesai. Dia tahu. Rumah sakit jiwa telah pula lama ditinggalkannya.
Dia
bukan rahib. Gereja tak pernah dimasukinya lagi. Terdaftar di departemen urusan
veteran, dan tak tega pula. Dia tahu, apa sebenarnya dia kini. Dia hanya tahu,
dimana dia. Yaitu, di sepanjang jalan raya. Menurut istilah resmi departemen
angkatan kepolisian dan departemen urusan sosial, dia orang gelandangan.
Matahari
menancap tinggi di langit. Udara gerah. Di jauhan terdengar kereta api masuk
stasiun. Kakinya sudah tak kuat membawanya lari ke sana. Ke pintu keluar stasiun
menghadang entah ada kenalannya di antara penumpang yang baru datang itu. Kalau
ada, pastilah kenalannya itu memberinya uang sekedar untuk makan seminggu,
kurang lebih.
Menurut
anggapannya sendiri,dia tak pernah minta. Apalagi minta-minta. Rasa harga
dirinya masih cukup tebal. Bila tak ada kenalannya antara penumpang-penumpang
itu-bekas anak buahnya, atau atasannya, ketika revolusi bersenjatadulu-dia
tahan tak makan berminggu-minggu lamanya. Bintang-bintang tanda pangkat
perwiranya yang masih tetap simpatinya sebagai jimat, terbungkus dan terlilit
meliputi lehernya-melarangnya mengikut kebiasaan rekan-rekannya gelandang
lainnya untuk menengadahkan kaleng atau batok kosong di warung-warung
mengharapkan sia-sia makanan tamu-tamu.
Dan
telah menemukan penangkal mujarab untuk memerangi pusing kepalanya bila perut
kosong berlarut-larut. Yaitu, berjalan sepanjang malam, menghitung-hitung
bintang di langit. Bila malam hujan, dia tampung air hujan dengan kedua telapak
tangannya, penuh-penuh. Kemudian, diminumnya. Perutnya serasa segar kembali.
Demikian pula seluruh tubuhnya. Diapun lalu dapat tidur pulas.
Siang
hari dia belum merasa pusing karena perut kosong. Keriuhan lalu lintas dan
gambaran manusia ramai sekelilingnya memenuhi perutnya dengan uap kebudayaan
kuta, uap peradaban manusia modern, yang membuatnya sanggup untuk menanggungkan
rasa lapar dan sakit berlarut-larut.
Tapi
kini, dia tak kuat jalan. Borok di pergelangan kakinya makin lebara saja. Makin
nyeri. Macam-macam sudah obat yang dianjurkan rekan-rekan gelandangan lainnya.
Dicobanya semua. Namun borok itu tambah luas saja. Tambah basah. Nanahnya
meleleh ke mana-mana. Jaringan-jaringan daging yang masih utuh sekitarnya,
mulai pula ikut-ikutan merah. Kemudian kuning, putih…menggenang nanah!
Dia
sendiri bukannya tak tahu asal usul borok itu, dan bagaimana cara pengobatannya
yang semestinya. Ketika dia masih di seminari dulu untuk dididik jadi rahib
katolik, dia juga diajari ilmu kesehatan sekedarnya. Dia tahu betul, tiap luka
yang bagaimanapun kecilnya pada tubuh seorang yang tak terurus dan terus
menerus kekurangannya vitamin, seperti dia itu, bisa jadi parah. Bahkan, tak
sembuh-sembuh.
Boroknya
itu dulu hanya gores kecil saja dari dahan belukar, ketika ia mengantarkan Fifi
ke perkampungan gubuk-gubuk kecil yang sembunyi di balik belukar-belukar di
tengah kota itu. Perkembangan gubuk-gubuk itu adalah perkampungan kaum
gelandangan. Sebenarnya janggal juga menyebutnya gubuk-gubuk. Untuk masuk ke
dalamnya, kita mesti merangkak. Di dalamnya kita hanya bisa duduk atau
terlentang. Ruangnya rata-rata 1 x ½ meter saja, cukup hanya untuk seorang
manusia duduk atau manusia terlentang. Sebelah luar, tiap gubuk dipagari oleh
sederet batu-batu atau potongan-potongan kayu kecil. Ruang antara pagar
itu-itulah tempat untuk semua kesibukan lainnya dari si penghuni, di luar
tidur. Di situ didapati ragam barang dan benda: cermin retak, botol-botol kecil
yang berisi pupur, gincu, minyak wangi yang dicampur air supaya menjadi lebih
banyak, dan lain-lain.
Gubuk-gubuk
kecil ini memberikan gambaran dari suatu film kartun kanak-kanak. Kontrasnya
dengan gambaran para penghuninya yang bukan kanak-kanak lagi itu, memberikan
pemandangan yanglebih khas lagi. Yakni, pemandangan dari semacam perkuburan di
dunia surealis, mayat-mayatnya berkualaran dan berkeliaran, semuanya menantang
langit terang. Kami ingin hidup 1000 tahun lagi….!
Fifi,
seorang gadis cilik. Gadis? Usianya 14 tahun. Tapi, dia sendiri serasa punya
usia lebih ½ abad. Dia dulu masa ini sudah entah berapa tahun pula
berselang-tinggal sentosa bertsama orang tuanya di kampungnya,di kaki sebuah
gunung. Pada satu subuh, gerombolan menyerbu kampong itu. Leher ayahnya mereka
gorok. Ibunya, kakak-kakaknya dan dia sendiri, nereka perkosa beramai-ramai.
Esoknya, kampong itu pupus dari permukaan bumi. Dia bersama
tetangga-tetangganya mengungsi ke kota.
Karena dia tak punya apa-apa pun famili tidak-dia terpaksa cari nafkahnya
dengan satu-satunya barang yang masih punya harga bagi orang lain. Yakni,
kewanitaannya. Inipun tak lama dapat ia eksploatasi. Satu malam, ia kena razia
di kota. Lewat seminggu, ia dilepas lagi.
Ayo!
Mengapa lagi di sini. Lekas-lekas pulang ke kekampungmu ke orangtuamu! Bentuk
brigadier polisi susila, yang malam sebelumnya sudah sempat mencicipi dia.
Saya
tak punya kampung, tak punya orang tua.
Brigadir
itu pura-pura membelalakkan mata, kemudian pura-pura menggelengkan kepalanya,
kemudian pergi dengan rasa masa bodoh dan mual yang sebesar-besarnya.
Lepas
tengah hari, dia meninggalkan kantor polisi itu sesudah diberi makan ompreng
terlebih dahulu.
Saya
ke mana? Tanyanya
Kemana
saja. Tapi ingat, jangan berbuat seperti itu lagi. Mengerti?
Dia
menganguk, tak mengerti. Oleh sebab dia tak kenal kota itu, sudah dirinya
diantar tukang becak yang kebetulan lewat ke alun-alun, tempatnya semula.
Ongkosnya disuruh tagihnya nanti malam saja.
Setelah
seminggu dia di alun-alun itu, dia diajak tukang becak itu ikut mencoba nasib
ke ibukota. Di sana lebih banyak kerja, katanya. Juga bagi wanita-wanita
seperti Fifi. Dia menganguk lagi, karena kembali dia tak mengerti betul. Tapi,
dia ikut, persis seminggu di sana, dia ditinggal becak, yang dalam pada itu
setelah berhasil jadi gacoan tetap seorang cabo montok, yang punya gubuk
sendiri pula lagi.
Selagi
dia dinas sendirian di perempatan jalan dekat lapangan besar itu, dia ditemui
laki-laki tokoh utama cerita kita ini. Tokoh kita tertegun, lalu duduk,
menunggu Fifi berhenti menangis.
Selesai?
-Selesai
apa?
-Menangis.
Fifi
tercengang. Marahnya pun pura-pura tak jadi.
-Oh!
Saya tak menangis.
-Baiknya
jangan kita persoalkan itu lagi.
Kata-kata
tokoh kita tegas seperti perwir di medan perang yang harus segera ambil
putusan.
-Adik
masih baru di sini saya lihat, dan tak punya tempat memangkal.
-Tempat
apa?
-Pangkalan.
Maksudnya, tempat tinggal menetap.
-Apa
kakak punya?
-Yang
sedang kita soalkan sekarang ini adalah adik, bukan? Mari saya tolongkan.
Itupun, kalau adik sendiri mau.
Fifi dibawanya
keperkampungan gubuk-gubuk kecil di balik belukar dan alang-alang di tengah
lapangan itu. Diperkenalkannya Fifi kepada penghuni-penghuni lainnya di situ.
Juga kepada Maria.
-Hm,
Gacoan baru? Sengat Meria.
Dia
ini seorang wanita bertubuh besar, montok, hitam. Rambutnya kriting
kecil-kecil, seperti kriting Negro. Gigi masnya 4,2 di rahang atas, 2 di rahang
bawah.
-Maria!
Teriak tokoh kita. Dia ini baru saja kutemukan. Dia orang asing sama sekali di
sini. Tak punya apa-apa, tak punya siapa-siapa. Tolonglah dia.
-Tolong
dalam hal apa? Bentak Maria, terus maju ke Fifi, ingin menariksirnya! Lebih
bdekat.
-Menompangkan
dia tidur di gubukmu ini. Gubukmu terbesar di sini, bisa masuk 2 orang.
-Menompang?
Kau sendiri mengalami saban kali kau tidur bersama aku-cih! Kau sendiri tahu,
gubukku tak besar.
Mendengarkan
ini, Fifi dapat menahan tawanya. Tanpa disadarinya, tangan kokoh kita
tercubitnya dalam tawanya ini. Melihat cubitan ini, Maria jadi galak, serasa ia
ingin menjambak rambut tokoh kita. Dibantingnya kakinya ke tanah, kemudian dia
meludah dan lari masuk merangkak ke dalam gubuknya.
-Tunggu
sebentar di sini, dik! Bisik tokoh kita pada Fifi. Mulut Maria memang rewel.
Tapi hatinya baik. Aku percaya, adik bakal bisa menumpang tidur dengan dia.
Setidaknya mala mini.
Segera
dia masuk ke dalam gubuk Maria.
-Pergi!
Pergi! Aku tak ingin lihat mukamu.
-Maria!
Maria! Bujuk tokoh kita, sambil merangkak masuk.
-Cih!
Laki-laki mata keranjang. Ketemu gacoan baru, hah! Fifi yang makin tertarik
pada percakapan riuh dalam gubuk itu, melangkah dekat.
-Mereka
selaku begitu! Suara seorang wanita di sampingnya.
Fifi
terperanjat juga sedikit. Tapi segera dia dapat menyusuri wajah wanita di
remang tengah malam itu: wanita itu kurang lebih usia dia juga, dengan nasib
yang kurang lebih sama. Hatinya legah. Wanita itu tertawa ramah. Dia adalah
penghuniperkampungan itu juga. Dia mengunyah-ngunyah kwaci. Sebagian kwaci
diberinya Fifi.
-Saya
icih. Sebantar lagi, mereka akan baikan kembali, dan akan tidur dengan Maria
nanti.
-Dia
galak! Tingkah Fifi.
-Memang.
Tapi hanya lumayan saja. Dialah ibu kami di sini, laki-laki maupun perempuan.
Kalau ada apa-apa atau ada kesusahan kami, kamib selalu datang padanya. Dia
selalu sedia menolong. Kata-katanya selalu dapat mengobati susah kami.
-Dia
dari man?
-Entah.
Menurut omongan orang,dia berasal dari bagian timur negeri kita. Entah Maluku,
entah Timor, entah Flores.
-Namanya
memang Maria?
-Ya.
Agamanya katolik, setidaknya dulu. Dulu dia mau jadi guru rawat. Tapi, oleh
karena dia tak bisa melihat darah, cita-citanya gagal. Kemudian dia menjadi
seorang pembantu rumah tangga pada pastoran di kota kecil tak jauh dari
kampungnya. Pada suatu petang, dia diterkam oleh seorang laki-laki dari
belakangnya, diseret ke dalam semak-semak, lalu diperkosa-tanpa dapat melihat
siapa laki-laki itu. Seminggu sesudah
ituSeminggu sesudah ituSeminggu sesudah itu, seorang pastor di pastoran itu
menggantung dirinya. Sebab-sebabnya tak diketahui. Maria begitu takutnya melihat
pastor yang tergantung pada tali itu, hingga dia lari dari pastoran itu. Lalu
dia ikut salah satu perahu yang biasa mengangkut rempah-rempah ke Jawa ini. Bayi
yang lahir dari perkosaan itu- ini juga keajaiban, sebab umumnya tak lantas
lahir anak dari perkosaan- ditinggalkannya di rumah sakit tempat ia bersalin,
dan dia memulai pertualangannya, sampai dia terdampar kemari…
Fifi
diam, tanpa disadarinya bintik-bintik air panas mengalir dari sudut-sudut
matanya. Dari dalam gunung Maria, tiba-tiba kedengaran suara Maria menangis
tersedu-sedu, sedang tokoh kita setengah berbisik mencoba membujuknya.
Tak
lama kemudian, Fifi dan kawan-kawannya itu dikejutkan tawa kuat-kuat Maria,
ditingkaj tawa tokoh kita yang tak kalah pula kuatnya. Tawa Maria makin genit.
Pada satu saat, tawa genit Maria berhenti sama sekali. Dari dalam gubuk itu tak
kedengaran suara apa-apa lagi. Hening, penuh rahasia.
-Mengapa
mereka sekarang? Tany Fifi, heran. Icih mencubit tangannya, ketawa genit.
-Ngapai
lagi…Hi-hi-hi! Apa kataku tadi, kau tidur bersama Maria malam ini.
Fifi mengerti.
-Tapi,
sesudah mereka baikan begitu, apa bukan kakak itu sendiri nanti yang bakal
pilih Maria sebagai kawan tidurnya?
-Kalau
kakak kita itu memang punya rencana untuk tidur bersama Maria malam ini.
Masakan kita akan membawamu padanya? Hi-hi-hi….
-Benar
pula, piker Fifi.
-Dan
lagi kakak kita tak pernah suka bermalam di sini. Artinya menginap sampai pagi.
Dia selalu buru-buru pergi lagi, tidur di tempat mangkalnya sendiri, entah
dimana.
-Tak
seorang kami di sini tahu. Dialah satu-satunya dari seluruh kaum gelandangan di
kota ini tak diketahui tempat mangkalnya. Tapi, tiba-tiba saja dia sudah tak
kelihatan lagi.
-Heh,
apa? Tanya Fifi sedikit ketakutan.
-Betul.saya
sendiri tak percaya dia itu hantu yang tiba-tiba saja bisa menghilang. Dugaan
kami adalah, dia itu akhirnya thu dia sedang dibuntuti, lalu lari tiba-tiba dan
menghilang.
Mereka
berhenti bercakap. Dari gubuk, keluar tokoh kita, disusul Maria yang tampak
sedikit malu-malu sambil membetulkan rambut dan roknya yang kusut.
Pada
tubuh tokoh kita melekat bau minyak wangi yang sengit sekali. Minyak wangi
Maria!
-Hm,
wanginya, sindir Icih dan mencubit tangn Fifi.
Maria
tambah malu-malu lagi, tunduk.
-Adik
malam ini tidur bersama Maria. Bahkan sampai dengan ada kepastian lebih lanjut
nanti mengenai tempat adik, adik selam itu boleh numpang pada Maria. Bukankah,
begitu Maria?
Maria
mengangguk.
-Beres,
kalu begitu. Sekarang saya permisi pergi.
-Kakak
sendiri tidur di mana? Tanya Fifi.
Di
dasar hatinya yang sebenarnya baru berusia 14 tahun itu, dia merasa mulai
mekarnya suatu perasaan yang sampai dengan saat ini sangat asing baginya. Rasa
mesra, rasa kasih sayang, yang belum pernah dirasakannya sebelumnya.
Dia
menatap baik-baik seluruh perawakan laki-laki itu. Kelihatan mata yang sempat dapat
ditangkapnya dari remang malam yang telah jauh berangkat tua itu, membuat
kecambah dalam hatinya makin mengelopak. Ketika laki-laki itu menyentuh
tangannya, maksudnya membawanya kepada Maria, agar Maria menuntunnya masuk ke dalam
gubuknya, jantung Fifi berdebar keras sekali.
-Tidurlah
baik-baik. Kau jaga dia baik-baik, Maria.
Maria
tak menyahut. Erat-erat dipegangnya tangan tokoh kita, seolah tak ingin
dilepaskannya untuk selamanya.
-Jagalah
dirimu juga baik-baik,hm? Kata Maria penuh sayang. Obat gosok yang kuberi tadi
jangan lupa gosokan ke dadamu sebelum tidur. Mengerti? Dan besok, jangan lupa
pergi ke dokter. Uang yang kuberi tadi adalah untuk dokter. Mengerti?
Tokoh
kita mengangguk. Setelah menjentik ringan pipiu Icih, dia pun pergi.
Pelan-pelan disurukinya belukar keluar.
Langit
tak bening lagi. Kelompok-kelompok embun dari arah pantai, buru memburu menuju
selatan. Malam menggelepar jalan lengang. Seekor anjing menyalaki tukang becak
yang mengayuh becakny acuh tak acuh, pulang.
Di
dalam gubuk, lama sekali Maria tak bisa tidur. Fifi segera terlena. Tidurnya
mendengkur. Tubuhnya letih. Otaknya baru saja dihimpit berat sekali oleh
sekumpulan pengalaman dan kesan baru yang asing baginya. Dia, wanita yang sudah
tua, sangat letih, pada usia 14 tahun.
Menjelang
dinihari, Fifi terkejut bangun. Dia mendengar Maria menangis tertahan-tahan.
Lama sekali dia berbisik-bisik seorang dirinya. Bisik-bisik dari suatu doa yang
asing bagi teling Fifi. Kemudian dia berkata agak keras.
-Semoga
tuhan selalu bersama dia!
Maria
tertidur kembali. Tarikan-tarikan nafasnya kini tenang.
Lama
Fifi menatap ke dalam kelam gubuk kecil itu. Dia ingin sekali tahu, siapa
maksud Maria dengan dia tadi itu. Naluri kewanitaannya pelan-pelan mengambang, membuat
dia gelisah. Dalam kelam gubuk kecil itu, dia lihat dirinya dihalau ke dalam
satu sudut lancip dari suatu segitiga hitam. Adakah?
Ah
dia tak ingin percaya. Dan taruhlah dia dapat percaya dia bisa berbuat apa? Dia
tahu, toh dia bakal kalah, menyerah, pergi. Biarlah dia kembali melompat ke
daerah kedaulatannya yang mutlak, yang tak dapat diganggu gugat siapapun juga
hingga kini. Yaitu, daerah khayalnya dari tiada pembatasan dan syarat apa-apa.
Dia
ingin lebih lama sedikit mencumbuh dirinya dengan keadaan baru, yang tadi untuk
pertama kali dirasanya. Kemudian, lambat-lambat dia mengangkat dirinya
ditengah-tengah seluruh persoalan bbarunya tadi ke tengah bumi yang baru, di
tengah man dia kini ada. Yaitu, perkampungan gubuk-gubuk kecil dari manusia-manusia
kere, makhluk-makhluk boyongan yang terus-menerus dikejar oleh perselisihan
waktu melawan ruang dengan derita sebagai taruhannya. Keadaan yang serba
derita, dari ukuran yang serba kecil, serba sedikit. Tapi juga, keadaan yang
menggenggam satu jenis rasa yang memanaskan, yang membebaskan.
Terlebih
lagi, dia ingin memelihara terus kecambah dari perasaan yang baru untuk pertama
kali inilah pernah datang menyergap dirinya. Menyergap tubuhnya yang baru
berusia 14 tahun itu, yang sudah jadi pusing oleh sekian laki-laki demi berahi
dan sejumput rupiah. Masikah lagi ada kesempatan dan kemungkinan baru bagi dia?
Dia
tak tahu. Mutiara-mutiara bening mencair di sudut-sudut matanya. Dia
tengadahkan mukanya ke atas. Ke mana lagi kalau tak ke atas? Atas adalah arah segala
derita. Tapi juga, arah dari segala harap dan doa.
-Semoga
Tuhan bersama dia! Isaknya. Dia akget. Belum pernah dia mengucapkan kata-kata
itu. Tuhan?
Tapi,
jaringan-jaringan otaknya yang sebenarnya masih muda belia itu tak lagi mampu
membendung kantuknya yang kini datang semakin gigih merebut seluruh tubuhnya.
Ayam
berkoko dijauhan. Sebentar lagi, fajar menyembul. Fifi telah tidur.
Nafas-nafasnya pelan, teratur. Perkampungan gubuk-gubuk kecil itu nyenyak.
Keunggulan Novel
- Terinspirasi dari kisah
nyata
- Pewatakan tokoh mudah dimengerti dan di gambarkan
jelas. Sebelum revolusi dia calon rahib.
Selama revolusi dia komandan kompi. Di akhir revolusi, dia algojo pemancung
kepala pengkhianat-pengkhianat tertangkap, dan sesudah revolusi dia masuk rumah
sakit jiwa.
- Ceritanya setelah dia
keluar dari rumah sakit jiwa itu, dia menjadi seorang gelandangan yang tak
punya apa-apa, dan kini dia tak sanggup jalan karena borok di pergelangan
kakinya semakin melebar. Goroknya itu berasal dari goresan kecil dari bahan
belukar.
- Setting cerita bertempat
di perkampungan yang bernama Alun-alun, dan perkotaan.
- Kisah asmara yang disajikan penulis tergambar cinta segi tiga (Tokoh
kita, Fifi, dan Maria)
- Tokoh Fifi adalah seorang
gadis yang berusia 14 tahun. Dia adalah salah satu korban pemerkosaan. Setelah
dia ditinggalkan oleh keluarganya (meninggal) dia tak punya apap-apa, dan dia
rela menjual keperawanannya untuk keberlangsungan hidupnya. Sehingga dia pun
pernah kena razia.
- Dalam kutipan novel tersebut terdapat kata-kata yang
kurang sopan, kasar.
“ Ayo! Mengapa lagi di sini. Lekas-lekas pulang
kekampungmu ke orangtuamu! Polisi Bentak brigadir polisi susila, yang malam
sebelumnya sudah sempat mencicipinya.
Manfaat Novel
-Novel ini mengingatkan/menegaskan
kepada pembaca, apapun yang terjadi janganlah sampai menjual harga diri,
seperti yang dilakukan oleh Fifi di dalam cerita novel tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar