Sabtu, 29 Juni 2013


2.3.2 Cerpen Kontemporer
Cerpen Korrie Layun Rampan
Danau Liaq
            Rumpun bemban masih saja seperti dahulu, saat mula aku mengenal danau itu. Rumpun-rumpun itu kembali mengingatkan kau akan masa kanakku yang hilang di situ. Dahulu, kata ibu, menurut kisah yang didapatnya dari nenek, Danau Liaq berasal dari pusaran seekor bulus yang harus bertelur sejuta. Ia dikutuk karena memakan durian kesayangan raja. Karena ditanam arah ke tepi sungai, buah-buah durian itu banyak yang jatuh dari pasir pantai, dan buah-buah berduri itu menjadi mangsa bulus. Entah bagaimana caranya, bulus itu bisa membuka durian-durian jenis durian buaya atau duarian monthong itu, dan memakannya dengan lahap. Apakah ia menunggu sampai durian itu mereka, atau ia mengigit bagian bawah durian, sehingga juring durian terbuka. Tak ada yang tahu secara jelas, bagaimana sebenarnya bulus itu mampu mendapatkannya dan memakan daging durian yang manis beralkohol itu.
            Oleh karena kutukan itu, bulus itu membuat pusaran yang luas di pasir untuk tempatnya bertelur. Pusaran itu menjadi lebar dan dalam dan bekas pusaran bulus itu berubah menjadi danau. Orang kampong di zaman itu menyebutkan Danau Liaq yang bermakna danau ciptaan bulus karena kutukan dewa pemarah!
            Aku tak terlalu percaya dengan kisah itu. Namun aku suka memancing didanau itu, terutama karena aku tertarik dengan bentuk danau yang bundar seperti nyiru. Sekeliling danau merimbun rumpun bemban, dan disela-sela bemban itu berkeliaran ikan gabus dan ikan lele yang besar lagi gemuk. Jika memancing dengan umpan cacing atau belalang, sering aku mendapat ikan boyon, ikan lais dan baung yang enak sekali rasanya. Jika ikan itu dipepes atau dibakar, rasa dagingnya gurih manis. Sebelum aku pindah ke kota karena harus melanjutkan sekolah di sebuah SMP di ibukota kecamatan, aku selalu datang ke danau itu pada waktu-waktu tertentu dengan tujuan mancing atau mengangkat bubu dan pengirei yang diberi umpan untuk jenis ikan pepuyuh dan kelabeuw. Terakhir aku jera karena tiba-tiba saja di dalam bubu melingkar ular bentung yang berbisa, dan aku berteriak memanggil ibu. Kalau aku sempat dipatuknya, entahlah nasibku, mungkin sudah menjadi tanah seperti nenek moyang yang dikubur di dalam tempelaq yang berupa kuburan gantung.
            Danau itu hampir saja terlupa dari ingatku jika aku tidak kembali setelah lulus dari sebuah perguruan tinggi di             Jakarta. Peristiwa ular bentung seperti terpeta di depan mata membuat aku bertanya kepada ibu, apakah masih ada orang yang mancing, memasang pukat atau bubu dan menarik pancing bentang di danau itu. Dimasa kanakku, aku bersama kakakku Tingang suka memasang jaring untuk menangkap ikan biawan dan ikan kapar yang enak rasanya. Telur biawan jika dikonsumsi terlaku banyak, akan membuat anus menjadi licin berminyak. Telur ikan itu akan menjadi musuh beteleq, karena buahan itu akan bisa membuat anak-anak tidak bisa buang air besar. Jika makan telur biawan, urusan WC menjadi lancar, meskipun makan beteleq seberangka banyaknya.
            Danau Liaq adalah danau masa kanak. Belasan tahun aku tak pernah mernjenguknya karena aku kuliah di Jakarta. Namun kini saat aku melihatnya kembali, hatiku jadi terbuka untuk sebuah ide ikan keramba. Bukankah danau itu sangat bagus untuk dijadikan lahan menanam berbagai jenis ikan yang nantinya akan dipanen untuk dijual dipasar-pasar Damai, Berong Tongkok, Melat, Linggang Bigung, Lambing, Jengan Danum,dan Samarinda.
            “Tapi di kiri kanan danau itu memiliki rahasia yang seram,” kawanku Tuwala berkata dengan nada khawatir. ”harus berhati-hati menghindari murkah.”
            “Rahasia apa? Murka siapa?” aku merasa penasaran.
            “Rahasia liaq itulah, itulah,” Tuwala berkata. “Dulu, bahkan orang harus mengorbankan ayam putih dan anjing hitam kalau liaq itu murka.”
            “Mengapa murka?” aku bertanya seperti orang tolol.
            “Karena orang-orang mengambil ikan di danau itu tanpa adat aturan,” Tuwala makin menjelaskan. “Mereka tak menggunakan peralatan nelayan yang lumrah. Mereka gunakan potas dan setrum!”
            “Potas dan setrum? Bukankah sampai anak-anak ikan ikut mati?”
            “Bukan itu saja. Bahkan tukan putas dan tukang setrumnya ikut mati!”
            “Itu namanya kuwalat!” aku seperti menyumpahi.
            “Tapi sebenarnya tukang potas dan tukang setrum kuwalat pada liaq yang menghuni danau itu. Karena mereka tidak memberi sesaji, liaqnya marah. Akibatnya sangat fatal, tukang potas dan tukang setrum itu benar-benar mampus!”
            Kalau saja aku masih usia masa kanakku, bulu kudukku akan segera berdiri. Tentu aku akan bayangkan bagaimana liaq mengambil nyawa seorang nelayan karena nelayan itu tak bersopan santun menangkap ikan dari danau. Mungkin liaq adalah makhluk aneh yang menyeramkan, berkepala sebelas dengan gigi yang runcing tajam memanjang serta rambut terurai awut-awutan. Kuku-kukunya begitu panjang dan badannyanyang kotor tasmpak mengkilat di bawah cahaya matahari. Bau busuknya akan menyebar keseluruh permukaan danau, sehingga menimbulkan rasa mual dan geronjangan akan muntah. Tapi saat Tuwala berbicara aqku sudah sarjana dan aku justru akan membuka usaha di bidang keramba di danau itu.
            “Dulu ada warga dari kampong lain suka meracuni ikan di malam hari setelah ruba dianggap kurang mampan, “Tuwala masih melaporkan pengetahuannya mengenai aksi masyarakat penangkap ikan.
            “Makin hari pendapatan mereka berkurang, sehingga mereka gunakan setrum!”
            “Tapi jika aku sudah peliharakan ikan, aku minta petinggi umumkan kepada warga agar janagan lagi menuba, meracun, menyetrum,” aku memandang wajah Tuwala. “Biar ikan sungai dan danau dapat berkembang menjadib besar, dan ikan keramba aman juga, tak beracun oleh tuba dan obat mematikan.”
            “Tapi kalu menanam kerambah di Danau Liaq, kau tak merasa khawatir akan gangguan makhluk halus liaq yang bisa saja nanti minta sesaji,” Tuawala masih dengan argumentasinya. “Kuingat Dakouwe yang hanya mau mengambil ikan dari danau itu tapi tidak mau memberi sesaji, akhirnya kejeblos ke dalam lumpur muara danau dan tenggelam di arus Sungai Nyuwatan. Hingga kini mayatnya tak diketemukan!”
            “Kudengar Dakouwe suka mengganggu istri Sengkereaqduaq. Apa tak mungkin lelaki itu dibencana karena perselingkuhannya?”
            “Tapi mayatnya tak diketemukan orang. Kata orang mayat itu disembunyikan oleh liaq di dasar danau.”
            “Disembunyikan di dasar danau? Dasar yang mana? Bukankah danau tak terlalu dalam, hanya dua tiga meter saja dalamnya? Kalau diletakkan di dasar danau, tentu mayatnya akan mengapung kalau sudah membusuk. Lagi pula, untuk apa liaq sembunyikan mayat orang mati?”
            “Tapi itu perbuatan liaq bukan model tata cara manusia,”Tuwala masih dengan argumentasinya. Kalau mayat tak dibiarkan mengapung, ya tak kan mengapung. Bukankah liaq adalah makhluk halus yang dapat membutuhkan kematian sebagai tumbal bagi kedegilan manusia dalam mengelola lingkungan hidup!”
            Tuwala memang teman akrabku semasa di SD. Oleh karena ayahnya meninggal dunia, ia tidak bisa melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi karena tak ada yang menyandang dana. Ia akhirnya menikah dan membuka lading secara tradisi. Bersama kelinceking, Sepotn dan Lelutukng, ia kuajak bersama membangun keramba di danau liaq. Dengan berbagai informasi danargumennya yang menyangkut kehidupan tradisional kampong, aku merasa aku mendapat bahan-bahan berguna untuki menata lingkungan di masa depan. Tanpa ilmu pengetahuan masyarakat akan tetap dibutakan oleh mitos-mitos kuno yang menghambat.
            Namun di pihak lain, aku juga suka dengan isyarat-isyarat dan batasan-batasan yang dipegang adat dan tradisi. Bahkan mitos Danau Liaq yang dikatakan bermula dari pusaran bulus membuat aku makin berusaha menyelami dan memahami makna apa yang terkandung dibalik dongeng-dongeng kuno itu. Bukankah cerita-cerita lama lebih banyak berupa tamsil dengan maksud-maksud tertentu di baliknya?
            Tak terasa jika keramba kami telah dihuni ikan-ikan jelawat, baung, betutu yang hamper siap panen. Tiga jenis ikan itu sengaja aku pilih karena memiliki ekonomi yang tinggi, sebab ikan-ikan itu digemari masyarakat lokal. Dalam jangka panjang aku berencana akan menjual ikan-ikan itu ke Jawa, bahkan ikan betutu disebut juga ikan bakut, sangat digemari orang Cina, Korea dan Jepang. Kuharap suatu ketika aku akan bangga mengangkut ikan-ikan itu dari Bandara Sepinggan di Balikpapan dalam dus-dus ukuran internasional untuk aku ekspor ke mancanegara.
            Bibit-bibit unggul itu ketiga jenis ikan itu aku beli di Banjarmasin, dan dengan penyuluh yang kudatangkan dari Dinas Pertanian Kabupaten, pemeliharaan ikan-ikan itu benar-benar sesuai dengan tata cara yang seharusnya ikan-ikan itu cepat sekali menjadi besar dan gemuk. Kerja keras selama beberapa bulan terakhir ini kurasa akan segera akan menghasilkan buah. Bahkan kuduga, kredit bank akan mengucur lebih besar, jika panen perdana yang dilakukan oleh bupati, telah dilangsungkan. Pihak bank akan melihat sendiri bahwa uang yang mereka pinjamkan tidak terbuang di lapak judi tongkok dan tak juga dihabiskan dengan wanita ayu di kafe-kafe hiburan,  tetapi benar-benar ditanam di dalam usaha produktif berupa ikan dalam keramba.
            Acara persiapan penyambutan bupati untuk panen perdana telah rampung. Petinggi dan kepala adat ikut ambil bagian dalam acara tersebut, karena baru kali inilah kampong kami akan dikunjungi bupati. Selama puluhan tahun dan berapa bupati dan gubernur telah ganti-berganti, baru kali inilah masyarakat kampung merasa mendapat kehormatan karena kampong akan dikunjungi pejabat tinggi Negara. Selama ini camat-camat pun jarang datang, bahakan ada camat sampai tugasnya berakhir di kecamatan, tidak sempat mengunjungi kampong kami. Sehinggga ada orang yang menggerutu dengan pahit, bahkan kampong kami selalu dianaktirikan dan menjadi kampung sial, karena kutukan liaq, membuat kampung tak pernah maju. “Tapi mengapa harus menggunkana lokasi di situ,” Tuwala seperti ternganga melihat kawasan nantinya akan digunakan untuk tempat upacara.
            “Tempat itu tidak baik digunakan untuk umum karena ada penunggunya.”
            Tuwala yang sedang bertugas menyiapkan pemasaran di Banjarmasin tak ikut serta dalam pembuatan tanggung dan teratak upacara. Ia baru saja tiba, setelah semuanya selesai.
            “Biar penunggu itu menjaga kita,” Pererawen seperti berlelucon.” Biar ucapara berjalan lancar.”
            “Tapi di situ ada lubang misterius,      Wen,” Tuwala menguatkan argumentasinya.
            “Nenekku pernah kidasih mimpi delapan kali di siang hari oleh lelaki tua berambut putih yang mengatakan bahwa di tempat itu ada gua harta.”
            “Itu lebih baik,” Pererawen tak mau kalah. “mudah-mudahan kita semua ini diberi tua akan harta karun yang berlimpah ruah. Sebagai penggagas pembangunan keramba dan yang bertanggungjawab akan usaha yang aku jalankan, aku merasa semuanya sudah siap. Jika terjadi penggunaan kawasan berpenunggu, kuharap itu hanya dongeng kuno yang tak ada buktinya. Oleh karena itu, aku minta kepada Tuwala dan Parerawan agar persoalan lokasi jangan diperumit. Lebih baik bersiap-siap menunggu kedatangan rombongan bupati esok hari.”
            Setelah memeriksa keramba dan segala persiapan penyambutan, aku berusaha memejamkan mata. Panen perdana kuharapkan akan dilanjutkan dengan panen kedua dan seterusnya, dan masyarakat kampong akan menjadi sejahtera karena usaha keramba. Ekonomi rakyat meningkat, tak lagi terlilit hutang ijonan disebabkan harga karet dan rotan selalu tak menentu karena diakali dan dikadali para tengkulak!
            Saat aku bangun udara pagi terasa sangat dingin karena gerimis masih merintis. Aku menjadi jengah, karena di ruang tengah telah duduk sejumlah warga dan mereka berbicara dengan nada yang tinggi.
            “Panggung dan teratak terjeblos ke dalam tanah,” suara Tuwala melapor padaku. “ikan-ikan dalam keramba pada mati. Menurut Petinggi rombongan bupati sebentar lagi akan tiba di sini!”
            Kukucek mataku di depan panggung upacara dan teratak yang tenggelam ke dalam lubang tanah yang menggeronggang ke dalam karena guyuran hujan membuat tanah menjadi lembek dan seluruh lapisan atas tanah terkikis lalu membentuk lubang yang dalam. Sementara hampir-hampir aku tak percaya, saat kukucek mataku di depan keramba. Seluruh ikan mengapung mati!
            Saat rombongan bupati tiba, kutunjuk bangkai-bangkai ikal jelawat, ikan baung dan ikan betutu yang mengapung mati. Air danau yang tadinya bening bersih telah berubah menjadi iar susu. Beberapa anak sungai yang mengalir ke danau itu telah membawa limba merkuri dan limbah tanah yang lingkungannya hancur karena penebangan hutan yang dilakukan secara merajalela oleh pengusaha HPH. Perubahan air secara mendadak dan racun-racun tanah dari bekas tebangan HPH telah menciptakan neraka bagi ikan-ikan keramba.
            Danau Liaq, bulus terkutuk, keramba, limbah HPH, dan di sebelahku bupati yang kulihat masih melongo di depan keramba danau dengan jutaan ikan mati.
            Gerimis seperti melilitkan kemurungan di awan yang menggantung hitam.
            Matahari mungkin masih lama tak tampak!
Analisis :
            Dalam kutipan cerpen  di atas menceritakan tentang Danau Liaq, yang bermakna danau ciptaan bulus karena kutukan dewa pemarah. Danau liaq yang berasal dari pusaran seekor bulus yang harus bertelur sejuta.  Ia dikutuk karena memakan durian kesayangan raja. Oleh karena kutukan itu, bulus itu membuat pusaran yang luas di pasir untuk tempatnya bertelur. Pusaran itu menjadi lebar dan dalam dan bekas pusaran itu berubah menjadi danau. Seorang anak di kampng itu sangat suka memancing di danau liaq tersebut. Terakhir dia jera karena tiba-tiba saja di dalam bubu melingkar ular bentung yang berbisa. Danau liaq tersebut rupanya memiliki rahasia yang seram. Dapat kita lihat dari kutipan-kutipan di dalam novel tersebut :
“Tapi di kiri kanan danau itu memiliki rahasia yang seram,” kawanku Tuwala berkata dengan nada khawatir. ”harus berhati-hati menghindari murkah.”
            “Rahasia apa? Murka siapa?” aku merasa penasaran.
            “Rahasia liaq itulah, itulah,” Tuwala berkata. “Dulu, bahkan orang harus mengorbankan ayam putih dan anjing hitam kalau liaq itu murka.”
            “Mengapa murka?” aku bertanya seperti orang tolol.
            “Karena orang-orang mengambil ikan di danau itu tanpa adat aturan,” Tuwala makin menjelaskan. “Mereka tak menggunakan peralatan nelayan yang lumrah. Mereka gunakan potas dan setrum!”
            “Potas dan setrum? Bukankah sampai anak-anak ikan ikut mati?”
            “Bukan itu saja. Bahkan tukang putas dan tukang setrumnya ikut mati!”
            “Itu namanya kuwalat!” aku seperti menyumpahi.
            “Tapi sebenarnya tukang potas dan tukang setrum kuwalat pada liaq yang menghuni danau itu. Karena mereka tidak memberi sesaji, liaqnya marah. Akibatnya sangat fatal, tukang potas dan tukang setrum itu benar-benar mampus!”
2.3.3 Novel Kontemporer
MERAHNYA MERAH
Oleh: Iwan Simatupang
Satu
SEBELUM REVOLUSI.dia calon rahib. Selama revolusi, dia komandan kompi. Di akhir revolusi, dia algojo pemancung kepada pengkhianat-pengkhianat tertangkap. Sesudah revolusi, dia masuk rumah sakit jiwa.
            Kini, revolusi telah selesai. Telah lama, kata sebagian orang. Ah! Barangkali juga selesai-selesai. Dia tahu. Rumah sakit jiwa telah pula lama ditinggalkannya.
            Dia bukan rahib. Gereja tak pernah dimasukinya lagi. Terdaftar di departemen urusan veteran, dan tak tega pula. Dia tahu, apa sebenarnya dia kini. Dia hanya tahu, dimana dia. Yaitu, di sepanjang jalan raya. Menurut istilah resmi departemen angkatan kepolisian dan departemen urusan sosial, dia orang gelandangan.
            Matahari menancap tinggi di langit. Udara gerah. Di jauhan terdengar kereta api masuk stasiun. Kakinya sudah tak kuat membawanya lari ke sana. Ke pintu keluar stasiun menghadang entah ada kenalannya di antara penumpang yang baru datang itu. Kalau ada, pastilah kenalannya itu memberinya uang sekedar untuk makan seminggu, kurang lebih.
            Menurut anggapannya sendiri,dia tak pernah minta. Apalagi minta-minta. Rasa harga dirinya masih cukup tebal. Bila tak ada kenalannya antara penumpang-penumpang itu-bekas anak buahnya, atau atasannya, ketika revolusi bersenjatadulu-dia tahan tak makan berminggu-minggu lamanya. Bintang-bintang tanda pangkat perwiranya yang masih tetap simpatinya sebagai jimat, terbungkus dan terlilit meliputi lehernya-melarangnya mengikut kebiasaan rekan-rekannya gelandang lainnya untuk menengadahkan kaleng atau batok kosong di warung-warung mengharapkan sia-sia makanan tamu-tamu.
            Dan telah menemukan penangkal mujarab untuk memerangi pusing kepalanya bila perut kosong berlarut-larut. Yaitu, berjalan sepanjang malam, menghitung-hitung bintang di langit. Bila malam hujan, dia tampung air hujan dengan kedua telapak tangannya, penuh-penuh. Kemudian, diminumnya. Perutnya serasa segar kembali. Demikian pula seluruh tubuhnya. Diapun lalu dapat tidur pulas.
            Siang hari dia belum merasa pusing karena perut kosong. Keriuhan lalu lintas dan gambaran manusia ramai sekelilingnya memenuhi perutnya dengan uap kebudayaan kuta, uap peradaban manusia modern, yang membuatnya sanggup untuk menanggungkan rasa lapar dan sakit berlarut-larut.
            Tapi kini, dia tak kuat jalan. Borok di pergelangan kakinya makin lebara saja. Makin nyeri. Macam-macam sudah obat yang dianjurkan rekan-rekan gelandangan lainnya. Dicobanya semua. Namun borok itu tambah luas saja. Tambah basah. Nanahnya meleleh ke mana-mana. Jaringan-jaringan daging yang masih utuh sekitarnya, mulai pula ikut-ikutan merah. Kemudian kuning, putih…menggenang nanah!
            Dia sendiri bukannya tak tahu asal usul borok itu, dan bagaimana cara pengobatannya yang semestinya. Ketika dia masih di seminari dulu untuk dididik jadi rahib katolik, dia juga diajari ilmu kesehatan sekedarnya. Dia tahu betul, tiap luka yang bagaimanapun kecilnya pada tubuh seorang yang tak terurus dan terus menerus kekurangannya vitamin, seperti dia itu, bisa jadi parah. Bahkan, tak sembuh-sembuh.
            Boroknya itu dulu hanya gores kecil saja dari dahan belukar, ketika ia mengantarkan Fifi ke perkampungan gubuk-gubuk kecil yang sembunyi di balik belukar-belukar di tengah kota itu. Perkembangan gubuk-gubuk itu adalah perkampungan kaum gelandangan. Sebenarnya janggal juga menyebutnya gubuk-gubuk. Untuk masuk ke dalamnya, kita mesti merangkak. Di dalamnya kita hanya bisa duduk atau terlentang. Ruangnya rata-rata 1 x ½ meter saja, cukup hanya untuk seorang manusia duduk atau manusia terlentang. Sebelah luar, tiap gubuk dipagari oleh sederet batu-batu atau potongan-potongan kayu kecil. Ruang antara pagar itu-itulah tempat untuk semua kesibukan lainnya dari si penghuni, di luar tidur. Di situ didapati ragam barang dan benda: cermin retak, botol-botol kecil yang berisi pupur, gincu, minyak wangi yang dicampur air supaya menjadi lebih banyak, dan lain-lain.
            Gubuk-gubuk kecil ini memberikan gambaran dari suatu film kartun kanak-kanak. Kontrasnya dengan gambaran para penghuninya yang bukan kanak-kanak lagi itu, memberikan pemandangan yanglebih khas lagi. Yakni, pemandangan dari semacam perkuburan di dunia surealis, mayat-mayatnya berkualaran dan berkeliaran, semuanya menantang langit terang. Kami ingin hidup 1000 tahun lagi….!
            Fifi, seorang gadis cilik. Gadis? Usianya 14 tahun. Tapi, dia sendiri serasa punya usia lebih ½ abad. Dia dulu masa ini sudah entah berapa tahun pula berselang-tinggal sentosa bertsama orang tuanya di kampungnya,di kaki sebuah gunung. Pada satu subuh, gerombolan menyerbu kampong itu. Leher ayahnya mereka gorok. Ibunya, kakak-kakaknya dan dia sendiri, nereka perkosa beramai-ramai. Esoknya, kampong itu pupus dari permukaan bumi. Dia bersama tetangga-tetangganya  mengungsi ke kota. Karena dia tak punya apa-apa pun famili tidak-dia terpaksa cari nafkahnya dengan satu-satunya barang yang masih punya harga bagi orang lain. Yakni, kewanitaannya. Inipun tak lama dapat ia eksploatasi. Satu malam, ia kena razia di kota. Lewat seminggu, ia dilepas lagi.
            Ayo! Mengapa lagi di sini. Lekas-lekas pulang ke kekampungmu ke orangtuamu! Bentuk brigadier polisi susila, yang malam sebelumnya sudah sempat mencicipi dia.
            Saya tak punya kampung, tak punya orang tua.
            Brigadir itu pura-pura membelalakkan mata, kemudian pura-pura menggelengkan kepalanya, kemudian pergi dengan rasa masa bodoh dan mual yang sebesar-besarnya.
            Lepas tengah hari, dia meninggalkan kantor polisi itu sesudah diberi makan ompreng terlebih dahulu.
            Saya ke mana? Tanyanya
            Kemana saja. Tapi ingat, jangan berbuat seperti itu lagi. Mengerti?
            Dia menganguk, tak mengerti. Oleh sebab dia tak kenal kota itu, sudah dirinya diantar tukang becak yang kebetulan lewat ke alun-alun, tempatnya semula. Ongkosnya disuruh tagihnya nanti malam saja.
            Setelah seminggu dia di alun-alun itu, dia diajak tukang becak itu ikut mencoba nasib ke ibukota. Di sana lebih banyak kerja, katanya. Juga bagi wanita-wanita seperti Fifi. Dia menganguk lagi, karena kembali dia tak mengerti betul. Tapi, dia ikut, persis seminggu di sana, dia ditinggal becak, yang dalam pada itu setelah berhasil jadi gacoan tetap seorang cabo montok, yang punya gubuk sendiri pula lagi.
            Selagi dia dinas sendirian di perempatan jalan dekat lapangan besar itu, dia ditemui laki-laki tokoh utama cerita kita ini. Tokoh kita tertegun, lalu duduk, menunggu Fifi berhenti menangis.
            Selesai?
            -Selesai apa?
            -Menangis.
            Fifi tercengang. Marahnya pun pura-pura tak jadi.
            -Oh! Saya tak menangis.
            -Baiknya jangan kita persoalkan itu lagi.
            Kata-kata tokoh kita tegas seperti perwir di medan perang yang harus segera ambil putusan.
            -Adik masih baru di sini saya lihat, dan tak punya tempat memangkal.
            -Tempat apa?
            -Pangkalan. Maksudnya, tempat tinggal menetap.
            -Apa kakak punya?
            -Yang sedang kita soalkan sekarang ini adalah adik, bukan? Mari saya tolongkan. Itupun, kalau adik sendiri mau.
            Fifi dibawanya keperkampungan gubuk-gubuk kecil di balik belukar dan alang-alang di tengah lapangan itu. Diperkenalkannya Fifi kepada penghuni-penghuni lainnya di situ. Juga kepada Maria.
            -Hm, Gacoan baru? Sengat Meria.                                                                
            Dia ini seorang wanita bertubuh besar, montok, hitam. Rambutnya kriting kecil-kecil, seperti kriting Negro. Gigi masnya 4,2 di rahang atas, 2 di rahang bawah.
            -Maria! Teriak tokoh kita. Dia ini baru saja kutemukan. Dia orang asing sama sekali di sini. Tak punya apa-apa, tak punya siapa-siapa. Tolonglah dia.
            -Tolong dalam hal apa? Bentak Maria, terus maju ke Fifi, ingin menariksirnya! Lebih bdekat.
            -Menompangkan dia tidur di gubukmu ini. Gubukmu terbesar di sini, bisa masuk 2 orang.
            -Menompang? Kau sendiri mengalami saban kali kau tidur bersama aku-cih! Kau sendiri tahu, gubukku tak besar.
            Mendengarkan ini, Fifi dapat menahan tawanya. Tanpa disadarinya, tangan kokoh kita tercubitnya dalam tawanya ini. Melihat cubitan ini, Maria jadi galak, serasa ia ingin menjambak rambut tokoh kita. Dibantingnya kakinya ke tanah, kemudian dia meludah dan lari masuk merangkak ke dalam gubuknya.
            -Tunggu sebentar di sini, dik! Bisik tokoh kita pada Fifi. Mulut Maria memang rewel. Tapi hatinya baik. Aku percaya, adik bakal bisa menumpang tidur dengan dia. Setidaknya mala mini.
            Segera dia masuk ke dalam gubuk Maria.
            -Pergi! Pergi! Aku tak ingin lihat mukamu.
            -Maria! Maria! Bujuk tokoh kita, sambil merangkak masuk.
            -Cih! Laki-laki mata keranjang. Ketemu gacoan baru, hah! Fifi yang makin tertarik pada percakapan riuh dalam gubuk itu, melangkah dekat.
            -Mereka selaku begitu! Suara seorang wanita di sampingnya.
            Fifi terperanjat juga sedikit. Tapi segera dia dapat menyusuri wajah wanita di remang tengah malam itu: wanita itu kurang lebih usia dia juga, dengan nasib yang kurang lebih sama. Hatinya legah. Wanita itu tertawa ramah. Dia adalah penghuniperkampungan itu juga. Dia mengunyah-ngunyah kwaci. Sebagian kwaci diberinya Fifi.
            -Saya icih. Sebantar lagi, mereka akan baikan kembali, dan akan tidur dengan Maria nanti.
            -Dia galak! Tingkah Fifi.
            -Memang. Tapi hanya lumayan saja. Dialah ibu kami di sini, laki-laki maupun perempuan. Kalau ada apa-apa atau ada kesusahan kami, kamib selalu datang padanya. Dia selalu sedia menolong. Kata-katanya selalu dapat mengobati susah kami.
            -Dia dari man?
            -Entah. Menurut omongan orang,dia berasal dari bagian timur negeri kita. Entah Maluku, entah Timor, entah Flores.
            -Namanya memang Maria?
            -Ya. Agamanya katolik, setidaknya dulu. Dulu dia mau jadi guru rawat. Tapi, oleh karena dia tak bisa melihat darah, cita-citanya gagal. Kemudian dia menjadi seorang pembantu rumah tangga pada pastoran di kota kecil tak jauh dari kampungnya. Pada suatu petang, dia diterkam oleh seorang laki-laki dari belakangnya, diseret ke dalam semak-semak, lalu diperkosa-tanpa dapat melihat siapa laki-laki itu.  Seminggu sesudah ituSeminggu sesudah ituSeminggu sesudah itu, seorang pastor di pastoran itu menggantung dirinya. Sebab-sebabnya tak diketahui. Maria begitu takutnya melihat pastor yang tergantung pada tali itu, hingga dia lari dari pastoran itu. Lalu dia ikut salah satu perahu yang biasa mengangkut rempah-rempah ke Jawa ini. Bayi yang lahir dari perkosaan itu- ini juga keajaiban, sebab umumnya tak lantas lahir anak dari perkosaan- ditinggalkannya di rumah sakit tempat ia bersalin, dan dia memulai pertualangannya, sampai dia terdampar kemari…
            Fifi diam, tanpa disadarinya bintik-bintik air panas mengalir dari sudut-sudut matanya. Dari dalam gunung Maria, tiba-tiba kedengaran suara Maria menangis tersedu-sedu, sedang tokoh kita setengah berbisik mencoba membujuknya.
            Tak lama kemudian, Fifi dan kawan-kawannya itu dikejutkan tawa kuat-kuat Maria, ditingkaj tawa tokoh kita yang tak kalah pula kuatnya. Tawa Maria makin genit. Pada satu saat, tawa genit Maria berhenti sama sekali. Dari dalam gubuk itu tak kedengaran suara apa-apa lagi. Hening, penuh rahasia.
            -Mengapa mereka sekarang? Tany Fifi, heran. Icih mencubit tangannya, ketawa genit.
            -Ngapai lagi…Hi-hi-hi! Apa kataku tadi, kau tidur bersama Maria malam ini.
            Fifi mengerti.
            -Tapi, sesudah mereka baikan begitu, apa bukan kakak itu sendiri nanti yang bakal pilih Maria sebagai kawan tidurnya?
            -Kalau kakak kita itu memang punya rencana untuk tidur bersama Maria malam ini. Masakan kita akan membawamu padanya? Hi-hi-hi….
            -Benar pula, piker Fifi.
            -Dan lagi kakak kita tak pernah suka bermalam di sini. Artinya menginap sampai pagi. Dia selalu buru-buru pergi lagi, tidur di tempat mangkalnya sendiri, entah dimana.
            -Tak seorang kami di sini tahu. Dialah satu-satunya dari seluruh kaum gelandangan di kota ini tak diketahui tempat mangkalnya. Tapi, tiba-tiba saja dia sudah tak kelihatan lagi.
            -Heh, apa? Tanya Fifi sedikit ketakutan.
            -Betul.saya sendiri tak percaya dia itu hantu yang tiba-tiba saja bisa menghilang. Dugaan kami adalah, dia itu akhirnya thu dia sedang dibuntuti, lalu lari tiba-tiba dan menghilang.
            Mereka berhenti bercakap. Dari gubuk, keluar tokoh kita, disusul Maria yang tampak sedikit malu-malu sambil membetulkan rambut dan roknya yang kusut.
            Pada tubuh tokoh kita melekat bau minyak wangi yang sengit sekali. Minyak wangi Maria!
            -Hm, wanginya, sindir Icih dan mencubit tangn Fifi.
            Maria tambah malu-malu lagi, tunduk.
            -Adik malam ini tidur bersama Maria. Bahkan sampai dengan ada kepastian lebih lanjut nanti mengenai tempat adik, adik selam itu boleh numpang pada Maria. Bukankah, begitu Maria?
            Maria mengangguk.
            -Beres, kalu begitu. Sekarang saya permisi pergi.
            -Kakak sendiri tidur di mana? Tanya Fifi.
            Di dasar hatinya yang sebenarnya baru berusia 14 tahun itu, dia merasa mulai mekarnya suatu perasaan yang sampai dengan saat ini sangat asing baginya. Rasa mesra, rasa kasih sayang, yang belum pernah dirasakannya sebelumnya.
            Dia menatap baik-baik seluruh perawakan laki-laki itu. Kelihatan mata yang sempat dapat ditangkapnya dari remang malam yang telah jauh berangkat tua itu, membuat kecambah dalam hatinya makin mengelopak. Ketika laki-laki itu menyentuh tangannya, maksudnya membawanya kepada Maria, agar Maria menuntunnya masuk ke dalam gubuknya, jantung Fifi berdebar keras sekali.
            -Tidurlah baik-baik. Kau jaga dia baik-baik, Maria.
            Maria tak menyahut. Erat-erat dipegangnya tangan tokoh kita, seolah tak ingin dilepaskannya untuk selamanya.
            -Jagalah dirimu juga baik-baik,hm? Kata Maria penuh sayang. Obat gosok yang kuberi tadi jangan lupa gosokan ke dadamu sebelum tidur. Mengerti? Dan besok, jangan lupa pergi ke dokter. Uang yang kuberi tadi adalah untuk dokter. Mengerti?
            Tokoh kita mengangguk. Setelah menjentik ringan pipiu Icih, dia pun pergi. Pelan-pelan disurukinya belukar keluar.
            Langit tak bening lagi. Kelompok-kelompok embun dari arah pantai, buru memburu menuju selatan. Malam menggelepar jalan lengang. Seekor anjing menyalaki tukang becak yang mengayuh becakny acuh tak acuh, pulang.
            Di dalam gubuk, lama sekali Maria tak bisa tidur. Fifi segera terlena. Tidurnya mendengkur. Tubuhnya letih. Otaknya baru saja dihimpit berat sekali oleh sekumpulan pengalaman dan kesan baru yang asing baginya. Dia, wanita yang sudah tua, sangat letih, pada usia 14 tahun.
            Menjelang dinihari, Fifi terkejut bangun. Dia mendengar Maria menangis tertahan-tahan. Lama sekali dia berbisik-bisik seorang dirinya. Bisik-bisik dari suatu doa yang asing bagi teling Fifi. Kemudian dia berkata agak keras.
            -Semoga tuhan selalu bersama dia!
            Maria tertidur kembali. Tarikan-tarikan nafasnya kini tenang.
            Lama Fifi menatap ke dalam kelam gubuk kecil itu. Dia ingin sekali tahu, siapa maksud Maria dengan dia tadi itu. Naluri kewanitaannya pelan-pelan mengambang, membuat dia gelisah. Dalam kelam gubuk kecil itu, dia lihat dirinya dihalau ke dalam satu sudut lancip dari suatu segitiga hitam. Adakah?
            Ah dia tak ingin percaya. Dan taruhlah dia dapat percaya dia bisa berbuat apa? Dia tahu, toh dia bakal kalah, menyerah, pergi. Biarlah dia kembali melompat ke daerah kedaulatannya yang mutlak, yang tak dapat diganggu gugat siapapun juga hingga kini. Yaitu, daerah khayalnya dari tiada pembatasan dan syarat apa-apa.
            Dia ingin lebih lama sedikit mencumbuh dirinya dengan keadaan baru, yang tadi untuk pertama kali dirasanya. Kemudian, lambat-lambat dia mengangkat dirinya ditengah-tengah seluruh persoalan bbarunya tadi ke tengah bumi yang baru, di tengah man dia kini ada. Yaitu, perkampungan gubuk-gubuk kecil dari manusia-manusia kere, makhluk-makhluk boyongan yang terus-menerus dikejar oleh perselisihan waktu melawan ruang dengan derita sebagai taruhannya. Keadaan yang serba derita, dari ukuran yang serba kecil, serba sedikit. Tapi juga, keadaan yang menggenggam satu jenis rasa yang memanaskan, yang membebaskan.
            Terlebih lagi, dia ingin memelihara terus kecambah dari perasaan yang baru untuk pertama kali inilah pernah datang menyergap dirinya. Menyergap tubuhnya yang baru berusia 14 tahun itu, yang sudah jadi pusing oleh sekian laki-laki demi berahi dan sejumput rupiah. Masikah lagi ada kesempatan dan kemungkinan baru bagi dia?
            Dia tak tahu. Mutiara-mutiara bening mencair di sudut-sudut matanya. Dia tengadahkan mukanya ke atas. Ke mana lagi kalau tak ke atas? Atas adalah arah segala derita. Tapi juga, arah dari segala harap dan doa.
            -Semoga Tuhan bersama dia! Isaknya. Dia akget. Belum pernah dia mengucapkan kata-kata itu. Tuhan?
            Tapi, jaringan-jaringan otaknya yang sebenarnya masih muda belia itu tak lagi mampu membendung kantuknya yang kini datang semakin gigih merebut seluruh tubuhnya.
            Ayam berkoko dijauhan. Sebentar lagi, fajar menyembul. Fifi telah tidur. Nafas-nafasnya pelan, teratur. Perkampungan gubuk-gubuk kecil itu nyenyak.

Keunggulan Novel
- Terinspirasi dari kisah nyata
-  Pewatakan tokoh mudah dimengerti dan di gambarkan jelas. Sebelum revolusi  dia calon rahib. Selama revolusi dia komandan kompi. Di akhir revolusi, dia algojo pemancung kepala pengkhianat-pengkhianat tertangkap, dan sesudah revolusi dia masuk rumah sakit jiwa.
- Ceritanya setelah dia keluar dari rumah sakit jiwa itu, dia menjadi seorang gelandangan yang tak punya apa-apa, dan kini dia tak sanggup jalan karena borok di pergelangan kakinya semakin melebar. Goroknya itu berasal dari goresan kecil dari bahan belukar.
- Setting cerita bertempat di perkampungan yang bernama Alun-alun, dan perkotaan.
- Kisah asmara yang disajikan penulis tergambar cinta segi tiga (Tokoh kita, Fifi, dan Maria)
- Tokoh Fifi adalah seorang gadis yang berusia 14 tahun. Dia adalah salah satu korban pemerkosaan. Setelah dia ditinggalkan oleh keluarganya (meninggal) dia tak punya apap-apa, dan dia rela menjual keperawanannya untuk keberlangsungan hidupnya. Sehingga dia pun pernah kena razia.
- Dalam kutipan novel tersebut terdapat kata-kata yang kurang sopan, kasar.
“ Ayo! Mengapa lagi di sini. Lekas-lekas pulang kekampungmu ke orangtuamu! Polisi Bentak brigadir polisi susila, yang malam sebelumnya sudah sempat mencicipinya.

Manfaat Novel
-Novel ini mengingatkan/menegaskan kepada pembaca, apapun yang terjadi janganlah sampai menjual harga diri, seperti yang dilakukan oleh Fifi di dalam cerita novel tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar