Selasa, 25 Juni 2013

Antologi Puisi Supardi Djoko Damono



Antologi Puisi Supardi Djoko Damono

AKU INGIN
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.

PADA SUATU HARI NANTI
Pada suatu hari nanti,
Jasadku tak akan ada lagi,
Tapi dalam bait-bait sajak ini,
Kau tak akan kurelakan sendiri.

Pada suatu hari nanti,
Suaraku tak terdengar lagi,
Tapi di antara larik-larik sajak ini.

Kau akan tetap kusiasati,
Pada suatu hari nanti,
Impianku pun tak dikenal lagi,
Namun di sela-sela huruf sajak ini,
Kau tak akan letih-letihnya kucari.

SIHIR HUJAN

Hujan mengenal baik pohon, jalan, dan selokan
-- swaranya bisa dibeda-bedakan;
kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu dan jendela.
Meskipun sudah kau matikan lampu.

Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh di pohon, jalan, dan selokan
- - menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh
waktu menangkap wahyu yang harus kaurahasiakan.
              
KUKIRIMKAN PADAMU 

kukirimkan padamu kartu pos bergambar, istriku, 
par avion: sebuah taman kota, rumputan dan bunga-bunga, bangku dan beberapa orang tua, burung-burung merpati dan langit yang entah batasnya.
Aku, tentu saja, tak ada di antara mereka. 
Namun ada.
Perahu Kertas, 
Kumpulan Sajak, 
1982


KUTERKA GERIMIS

Kuterka gerimis mulai gugur 
Kaukah yang melintas di antara korek api dan ujung rokokku 
sambil melepaskan isarat yang sudah sejak lama kulupakan kuncinya itu
Seperti nanah yang meleleh dari ujung-ujung jarum jam dinding yang berhimpit ke atas itu 
Seperti badai rintik-rintik yang di luar itu
Perahu Kertas, 
Kumpulan Sajak, 
1982.


LIRIK UNTUK LAGU POP

jangan pejamkan matamu: aku ingin tinggal di hutan yang gerimis 
— pandangmu adalah seru butir air tergelincir dari duri mawar (begitu nyaring!); swaramu adalah kertap bulu burung yang gugur (begitu hening!) 
aku pun akan memecah pelahan dan bertebaran dalam hutan; berkilauan serbuk dalam kabut 
— nafasmu adalah goyang anggrek hutan yang mengelopak (begitu tajam!) 
aku akan berhamburan dalam grimis dalam seru butir air dalam kertap bulu burung dalam goyang anggrek 
— ketika hutan mendadak gaib 
jangan pejamkan matamu:
Perahu Kertas, 
Kumpulan Sajak, 
1982.


MATA PISAU 

mata pisau itu tak berkejap menatapmu 
kau yang baru saja mengasahnya 
berfikir: ia tajam untuk mengiris apel 
yang tersedia di atas meja 
sehabis makan malam; 
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu 


PERAHU KERTAS 

Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau layarkan di tepi kali; alirnya Sangat tenang, dan perahumu bergoyang menuju lautan.
“Ia akan singgah di bandar-bandar besar,” kata seorang lelaki tua.  Kau sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar warna-warni di kepala.
Sejak itu kau pun menunggu kalau-kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindu-mu itu.
Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya,
“Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit.”
Perahu Kertas, 
Kumpulan Sajak, 
1982.

PERISTIWA PAGI TADI 

Pagi tadi seorang sopir oplet bercerita kepada pesuruh kantor tentang lelaki yang terlanggar motor waktu menyeberang.
Siang tadi pesuruh kantor bercerita kepada tukang warung tentang sahabatmu yang terlanggar motor waktu menyeberang, membentur aspal, Ialu beramai-ramai diangkat ke tepi jalan.
Sore tadi tukang warung bercerita kepadamu tentang aku yang terlanggar motor waktu menyeberang, membentur aspal, lalu diangkat beramai-ramai ke tepi jalan dan menunggu setengah jam sebelum dijemput ambulans dan meninggal sesampai di rumah sakit.
Malam ini kau ingin sekali bercerita padaku tentang peristiwa itu. 

PERTAPA
Jangan mengganggu: 
aku, satria itu, sedang bertapa dalam sebuah gua, atau sebutir telur, atau. sepatah kata — ah, apa ada bedanya.  Pada saatnya nanti, kalau aku sudah dililit akar, sudah merupakan benih, sudah mencapai makna — masih beranikah kau menyapaku, Saudara?
Perahu Kertas, 
Kumpulan Sajak, 
1982.


PESAN

Tolong sampaikan kepada abangku, Raden Sumantri, bahwa memang kebetulan jantungku tertembus anak panahnya. 
Kami saling mencinta, dan antara disengaja dan tidak disengaja sama sekali tidak ada pembatasnya. 
Kalau kau bertemu dengannya, tolong sampaikan bahwa aku tidak menaruh dendam padanya, dan nanti apabila perang itu tiba, aku hanya akan …..
Perahu Kertas, 
Kumpulan Sajak, 
1982. 


PESTA

pesta berlangsung sederhana.  Sedikit tangis, basa-basi itu; tinggal bau bunga gemetar pada tik-tok jam, ingin mengantarmu sampai ke tanah-tanah sana yang sesekali muncul dalam mimpi-mimpinya 
. . . di sumur itu, si Pembunuh membasuh muka, tangan, dan kakinya
Perahu Kertas, 
Kumpulan Sajak, 
1982. 


PUISI CAT AIR UNTUK RIZKI

angin berbisik kepada daun jatuh yang tersangkut kabel telpon itu, “aku rindu, aku ingin mempermainkanmu!  ” 
kabel telpon memperingatkan angin yang sedang memungut daun itu dengan jari-jarinya gemas, “jangan berisik, mengganggu . 
hujan!” 
hujan meludah di ujung gang lalu menatap angin dengan tajam, 
hardiknya, ‘lepaskan daun itu!”
Perahu Kertas, 
Kumpulan Sajak, 
1982.


SAJAK NOPEMBER 

Siapa yang akan berbicara untuk kami 
siapa yang sudah tahu siapa sebenarnya kami ini 
bukanlah rahasia yang mesti diungkai dari kubur 
yang berjejal 
bukanlah tuntutan yang terlampau lama mengental
tapi siapa yang bisa memahami bahasa kami 
dan mengerti dengan baik apa yang kami katakan 
siapa yang akan berbicara atas nama kami 
yang berjejal dalam kubur
bukanlah pujian-pujian kosong yang mesti dinyanyikan 
bukanlah upacara-upacara palsu yang mesti dilaksanakan 
tapi siapa yang sanggup bercakap-cakap dengan kami 
siapa yang bisa paham makna kehendak kami
kami yang telah lahir dari ibu-ibu yang baik dan sederhana 
ibu-ibu yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus 
tanpa dicatat namanya 
kepada Ibu yang lebih besar dan agung : 
ialah Tanah Air
kami telah menyusu dari pada bunda yang tabah 
yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus 
untuk pergi lebih dahulu 
apakah kau dengan para bunda itu mencari kubur kami 
apakah kau dengar para bunda itu memanggil nama kami 
mereka hanya berkaata : akan selalu kami lahirkan anak-anak yang baik 
tanpa mengeluh serta putus asa
di Solo dua orang dalam satu kuburan 
di Makasar sepuluh orang dalam satu kuburan 
di Surabaya seribu orang dalam satu kuburan 
dan kami tidak menuntut nisan yang lebih baik 
tapi katakanlah kepada anak cucu kami; 
di sini telah dikubur pamanmu, ayahmu, saudaramu 
bertimbun dalam satu lobang 
dan tiada yang tahu siapa nama mereka itu satu-persatu
tambur yang paling besar telah ditabuh 
dan orang-orang pun keluar untuk mengenangkan kami 
terompet yang paling lantang ditiup 
dan mereka berangkat untuk menangiskan nasib kami dulu 
kami pun bangkit dari kubur 
memeluki orang-orang itu dan berkata : pulanglah 
kami yang mati muda sudah tentram, dan jangan 
diusik oleh sesal yang tak keruan sebabnya
kami hanya berkelahi dan sudah itu : mati 
kami hanya berkelahi untukmu, untuk mereka 
dan hari depan, sudah itu : mati
orang-orang pun menyiramkan air bunga yang wangi saat itu 
tanpa tahu siapa kami ini 
tiada mereka dengarkan ucapan terimakasih kami yang tulus 
tiada mereka dengarkan salam kami bagi yang tinggal 
tiada mereka lihatkah senyum kami yang cerah 
dan sudah itu : mati
siapa berkata bahwa kami telah musnah 
siapa berkata
kami kenal nama-namamu di mesjid di gereja di jalan di pasar 
kami kenal nama-namamu di gunung di lembah di sawah 
di ladang dan di laut, meskipun kalian 
tiada menyadari kehadiran kami
siapa berkata bahwa kami telah musnah 
siapa berkata
tanah air adalah sebuah landasan 
dan kami tak lain baja yang membara hancur 
oleh pukulan 
ialah kemerdekaan
kemarin giliran kami 
tapi besok mesti tiba giliranmu 
kalau saja kau masih mau tahu ucapan terimakasih 
terhadap tanah tempatmu selama ini berpijak 
hidup dan mengerti makna kemerdekaan
dan kami adalah baja yang membara di atas landasan 
dibentuk oleh pukulan : ialah kemerdekaan 
(mungkin besok tiba giliranmu)
siapa yang tahu cinta saudara, paman  dan bapa 
siapa yang bisa merasa kehilangan saudara, paman dan bapak 
ingat untuk apa kamu pergi 
siapa yang pernah mendengar bedil, bom dan meriam 
siapa yang sempat melihat luka, darah dan bangkai manusia 
ingat kenapa kami tak kembali
begitu hebatkah kemerdekaan itu hingga kami korbankan 
apa saja untuknya 
jawablah : ya 
begitu agungkah ia hingga kami tak berhak menuntut apa-apa 
jawab lagi : ya
sudah kau dengarkah suara sepatu kami tengah malam hari 
datang untuk memberkati anak-anak yang tidur 
sebab merekalah yang kelak harus bisa mempergunakan 
bahasa dan kehendak kami 
sudah kau dengarkah  suara napas kami 
menyusup ke dalam setiap rahim bunda yang subur 
sebab kami selalu dan selalu lahir kembali 
selalu dan selalu berkelahi lagi
mungkin pernah kau kenal kami dahulu, mungkin juga tidak 
mungkin pernah kau jumpa kami dahulu, mungkin juga tidak 
tapi toh tak ada bedanya: 
kami telah memulainya 
dan kalian sekarang yang harus melanjutkannya
dan memang tak ada bedanya : 
kalau hari itu bagi kami adalah saat penghabisan 
bagimu adalah awal pertaruhan 
awal dari apa yang terlaksana kemarin, kini besok pagi 
meski kami pernah kau kenal atau tidak 
meski kami pernah kau jumpa atau tidak
kami adalah buruh, pelajar, prajurit dan bapa tani 
yang tak sempat mengenal nama masing-masing dengan baik 
kami turun dari kampung, benteng, ladang dan gunung 
lantaran satu harapan yang pasti 
walau tak pernah kembali
kami hanyalah kubur yang rata dengan tanah dan tak bertanda 
kami hanyalah kerangka-kerangka yang tertimbun dan tak punya nama 
tapi hari ini doakan sesuatu yang pantas bagi kami 
agar Tuhan yang selalu mendengar bisa mengerti dan 
mengeluarkan ampun 
kami adalah mayat-mayat yang sudah lebur dalam bumi 
tapi adukan segala yang pantas tentang diri kami ini 
agar tak lagi mengembara arwah kami
kami telah lahir, hidup dan berkelahi : dan mati 
kami telah mati 
lahir dari para ibu yang mengerti untuk apa kami lahir di sini 
hidup di bumi yang mengerti semangat yang menjalankan kami 
kami telah berkelahi; dan mati 
tapi siapakah yang bisa menterjemahkan bahasa hati kami 
dan mengatakannya kepada siapa pun 
tapi siapakah yang bisa menangkap bahasa jiwa kami 
yang telah mati pagi sekali 
dan berjalan tanpa nama dan tanda 
dalam satu lobang kubur 
kami telah lahir dan selalu lahir 
selalu dan selalu lahir dari para bunda yang tabah 
selalu dan selalu berkelahi 
di mana dan kapan saja
biarkan kami bicara lewat suara anak-anak 
yang menyanyikan lagu puja hari ini 
biarkanlah kami bicara lewat kesunyian suasana 
dari orang-orang yang mengheningkan cipta hari ini
Sementara bendera yang kami tegakkan dahulu berkibar 
atas rasa bangga kami yang sederhana
biarkanlah kami bicara hari ini 
lewat suara anak-anak yang menyanyikan lagu puja 
lewat kesunyian suasana orang-orang yang mengheningkan cipta
Gelora 
Th III, No 19 
( Nopember 1962) 

SAJAK SUBUH 

Waktu mereka membakar gubuknya awal subuh itu ia baru saja bermimpi tentang mata air.  Mereka berteriak, “Jangan bermimpi!” dan ia terkejut tak mengerti. 
Sejak di kota itu ia tak pernah sempat bermimpi.  Ia ingin sekali melihat kembali warna hijau dan mata air, tetapi ketika untuk pertama kalinya. Ia bermimpi subuh itu, mereka membakar tempat tinggalnya. 
“Jangan bermimpi!” gertak mereka. 
Suara itu terpantul di bawahjembatan dan tebing-tebing sungai.  Api menyulut udara lembar demi lembar, lalu meresap ke pori-pori kulitnya.  Ia tak memahami perintah itu dan mereka memukulnya, “Jangan bermimpi!  ” 
Ia rubuh dan kembali bermimpi tentang mata air dan …..
Perahu Kertas, 
Kumpulan Sajak, 
1982. 

SAJAK TELUR

dalam setiap telur semoga ada burung dalam setiap burung 
semoga ada engkau dalam setiap engkau semoga ada yang senantiasa terbang menembus silau matahari memecah udara dingin 
memuncak ke lengkung langit menukik melintas sungai 
merindukan telur
Perahu Kertas, 
Kumpulan Sajak, 
1982. 


SELAMAT  PAGI  INDONESIA 

selamat pagi, Indonesia, seekor burung mungil mengangguk 
dan menyanyi kecil buatmu. 
aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu, 
dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam 
kerja yang sederhana; 
bibirku tak biasa mengucapkan kata-kata yang sukar dan 
tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal. 
selalu kujumpai kau di wajah anak-anak sekolah, 
di mata para perempuan yang sabar, 
di telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan; 
kami telah bersahabat dengan kenyataan 
untuk diam-diam mencintaimu. 
pada suatu hari tentu kukerjakan sesuatu 
agar tak sia-sia kau melahirkanku. 
seekor ayam jantan menegak, dan menjeritkan salam 
padamu, kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya. 
aku pun pergi bekerja, menaklukan kejemuan, 
merubuhkan kesangsian, 
dan menyusun batu-demi batu ketabahan, benteng 
kemerdekaanmu pada setiap matahari terbit, o anak jaman 
yang megah, 
biarkan aku memandang ke Timur untuk mengenangmu 
wajah-wajah yang penuh anak-anak sekolah berkilat, 
para perepuan menyalakan api, 
dan di telapak tangan para lelaki yang tabah 
telah hancur kristal-kristal dusta, khianat dan pura-pura.
Selamat pagi, Indonesia, seekor burung kecil 
memberi salam kepada si anak kecil; 
terasa benar : aku tak lain milikmu


Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air
SERULING

Seruling bambu itu membayangkan ada yang meniupnya, menutup-membuka lubang-lubangnya, menciptakan pangeran dan putri dari kerajaan-kerajaan jauh yang tak terbayangkan merdunya …. 
Ia meraba-raba lubang-lubangnya sendiri yang senantiasa menganga.
Perahu Kertas, 
Kumpulan Sajak, 
1982. 


SETANGAN KENANGAN

Siapakah gerangan yang sengaja menjatuhkan setangan di lorong yang berlumpur itu.  Soalnya, tengah malam ketika seluruh kota kena sihir menjelma hutan kembali, ia seperti menggelepar- gelepar ingin terbang menyampaikan pesan kepada Rama tentang rencana ….
Perahu Kertas, 
Kumpulan Sajak, 
1982.

  
TAJAM HUJANMU

tajam hujanmu 
ini sudah terlanjur mencintaimu: 
payung terbuka yang bergoyang-goyang di tangan kananku, 
air yang menetes dari pinggir-pinggir payung itu, 
aspal yang gemeletuk di bawah sepatu, 
arloji yang buram berair kacanya, 
dua-tiga patah kata yang mengganjal di tenggorokan 
deras dinginmu 
sembilu hujanmu
Perahu Kertas, 
Kumpulan Sajak, 
1982.


TEKUKUR 

Kautembak tekukur itu.  Ia tak sempat terkejut, beberapa lembar bulunya lepas; mula-mula terpencar di sela-sela jari angin, satu-dua lembar sambar-menyambar sebentar, lalu bersandar pada daun-daun rumput.  “Kena!” serumu.
Selembar bulunya ingin sekali mencapai kali itu agar bisa terbawa sampai jauh ke hilir, namun angin hanya meletakkannya di tebing sungai.  “Tapi ke mana terbang burung luka itu?” gerutumu.
Tetes-tetes darahnya melayang : ada yang sempat melewati berkas- berkas sinar matahari, membiaskan wama merah cemerlang, lalu jatuh di kuntum-kuntum bunga rumput.
“Merdu benar suara tekukur itu,” kata seorang gadis kecil yang kebetulan lewat di sana; ia merasa tiba-tiba berada dalam sebuah taman bunga.

TELINGA

 “Masuklah ke telingaku,” bujuknya. 
Gila 
ia digoda masuk ke telinganya sendiri 
agar bisa mendengar apa pun 
secara terperinci — setiap kata, setiap huruf, bahkan letupan dan desis 
yang menciptakan suara. 
“Masuklah,” bujuknya. 
Gila !  Hanya agar bisa menafsirkan sebaik-baiknya
apa pun yang dibisikkannya kepada diri sendiri.


TENTANG MATAHARI 

Matahari yang di atas kepalamu itu 
adalah balonan gas yang terlepas dari tanganmu
waktu kau kecil, adalah bola lampu 
yang di atas meja ketika kau menjawab surat-surat 
yang teratur kau terima dari sebuah Alamat,
adalah jam weker yang berdering 
sedang kau bersetubuh,
adalah gambar bulan 
yang dituding anak kecil itu sambil berkata : 
“Ini matahari! Ini matahari!”
Matahari itu? Ia memang di atas sana 
supaya selamanya kau menghela 
bayang-bayanganmu itu.


TUAN

Tuan Tuhan, bukan?  Tunggu sebentar, 
saya sedang ke luar.
Perahu Kertas, 
Kumpulan Sajak, 
1982. 


YANG FANA ADALAH WAKTU 

Yang fana adalah waktu.  Kita abadi: 
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga 
sampai pada suatu hari 
kita lupa untuk apa. 
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” 
tanyamu. 
Kita abadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar